THE WORLD of GRIMGAR
chapter 1
cerita ini hanya fanfiction
terinspirasi dari anime dengan judul Hai to Gensou no Grimgar
mengambil latar tempat yang sama di dunia Grimgar,
cerita ini mengisahkan seorang anak laki-laki penyendiri yang bertarung di dalam hutan
beberapa hari sebelum Haruhiro dan kawan-kawan muncul di dunia itu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari terburuk di dalam hutan-
Sudah lima hari sejak aku keluar dari kelompok party-ku dan
tinggal di markas guild.
Seperti biasa, pagi ini aku akan pergi berburu di luar
perbatasan Kota Ortana.
Setelah menyiapkan peralatan berburu seperti armor ringan
pelindung dada, pisau, pedang pendek, busur dan anak panah. Aku berangkat
menuju selatan kota.
Udara di luar masih dingin akibat kabut yang menyelimuti
setiap jalanan kota. Masih ada sekitar satu jam sebelum matahari memancarkan
sinarnya lagi dan mengusir kabut putih ini untuk memberikan kehangatan dari
sinarnya.
Jalanan masih sangat sepi, para penduduk kota kebanyakan
masih tertidur.
Masih ada satu toko kecil
yang sudah buka pada jam segini. Toko itu hanya menjual roti.
Setiap pagi Aku selalu menyempatkan membeli beberapa roti di
toko itu untuk bekal dalam perjalananku di dalam hutan nanti.
Hanya ada satu orang penjual di toko itu. Dia adalah wanita
tua bernama Hana, kami berdua sudah saling kenal atau bisa dibilang kami sudah
akrab, karena aku sangat sering datang ke tokonya setiap pagi.
Aku melihat Hana-san sedang menata roti yang sudah matang
pada rak yang ada di depan toko. Aku mendekatinya lalu menyapanya.
“Hana-san.. aku mau beli roti” kataku menghampiri toko kecil
itu.
“Oh.. Dino-kun ― apa hari ini kau juga akan pergi berburu?”
“Iya ― begitulah”
“Ini.. dua buah roti isi seperti biasa” Hana-san mengambil dua
buah roti isi berbentuk bulat lalu menyerahkannya kepadaku.
Harga satu buah roti isi itu adalah dua buah koin tembaga, jadi
aku harus membayar empat koin tembaga untuk dua buah roti itu. Harga yang agak mahal untuk sebuah roti pikirku saat pertama kali
mengunjungi toko roti ini. Agak mahal karena jika dibandingkan dengan daging
seharga empat koin tembaga, setengah harganya hanya mendapat satu roti. Aku memberikan empat koin tembaga kepada Hana-san dan Ia pun
berterimakasih kepadaku.
Ketika aku akan pergi meninggalkan toko itu tiba-tiba Hana-san
memanggilku lagi.
“Dino-kun, apa kau mau membantuku untuk mencarikan sesuatu ― aku
akan membayarmu”
“Kau ingin aku untuk mencarikanmu apa?”
“Kulit serigala ― aku membutuhkannya untuk membuat sarung
peralatan masakku”
― Serigala?
Satu-satunya serigala yang ada di dekat kota Ortana adalah hewan
buas berwarna hitam yang besar. Setiap kali bertemu dengan hewan itu, entah
berapa kali aku hampir mati dibuatnya. Namun saat berpikir bahwa aku mungkin
mendapat keberuntungan lagi hari ini Aku menerimanya begitu saja.
“Baik, aku akan mencarikannya untukmu”
“Terimakasih”
Setelah itu aku pergi meninggalkan toko itu, menuju ke hutan di
selatan kota. Butuh waktu tiga puluh menit untuk menempuh perjalanan kaki dari
kota ke hutan selatan.
Di hutan bagian selatan Kota Ortana merupakan area hutan
yang sangat luas dan berbahaya. Banyak monster kuat yang menguasai daerah itu
menjadikannya tempat berburu faforit para pasukan sukarela.
Aku yang selalu berburu sendiri sudah beberapa kali hampir
mati di sana. Namun berbekal kemampuan dan keterampilan yang sudah kupelajari
dari Guild Pemburu. Aku selalu berhasil kembali dari hutan itu dengan membawa
hasil buruan yang memiliki nilai tinggi seperti taring serigala atau barang
curian dari Goblin.
Para anggota guild yang melihatku selalu kembali dengan
luka-luka di tubuhku memanggilku dengan sebutan Solo Player. Aku tidak mengerti arti sebutan itu. Saat aku bertanya
kepada mereka, tidak ada yang bisa menjawabnya dan mereka tampak memperlihatkan
wajah keraguan.
Hal itu kadang juga terjadi kepadaku, dimana aku menyebutkan
kata-kata secara sepontan seperti sudah biasa mengucapkannya namun saat
menyadarinya Aku tidak bisa menemukan artinya.
Seperti ada ingatan yang tiba-tiba menghilang saat berusaha untuk
mengingatnya.
Setelah berjalan melewati bukit dan lereng tebing, aku akhirna
sampai di pinggiran hutan selatan.
Bentangan pohon yang tumbuh berjajar dari kiri maupun kanan
dengan daunnya yang rimbun. Terlihat seperti pagar raksasa yang membentengi
Kota Ortana.
Saat aku melihat ke atas, langit telah berubah menjadi
abu-abu menandakan sebentar lagi matahari akan menampakkan sinarnya lalu mengusir
kabut putih yang menyelimuti daratan dengan sinar hangatnya.
“Sepertinya aku terlalu cepat sampai di sini” Gumamku sendiri melihat kabut di sekelilingku yang masih cukup tebal.
Terlalu berbahaya untuk masuk ke dalam hutan dalam keadaan
berkabut seperti ini karena jarak penglihatan mata menjadi berkurang. Itu
adalah salah satu pengetahuan dasar yang dimiliki seorang pemburu.
Sambil menunggu sinar matahari muncul, Aku duduk di atas
batu besar tidak jauh dari tempatku berdiri sebelumnya untuk memakan roti yang
sudah kubeli dari toko Hana-san.
—――
Saat kabut sudah mulai menghilang dan jarak pandang menjadi
normal aku segera melanjutkan perjalananku masuk ke dalam hutan.
Dengan hati-hati Aku berjalan melewati semak dan batang
pohon yang tumbang sambil tetap waspada dengan segala kemungkinan dari serangan
oleh monster yang tidak kuketahui.
Selama ini aku sering menghadapi situasi hampir mati akibat
serangan mendadak oleh monster buas maupun serigala hitam. Mungkin karena aku
memiliki keberuntungan yang sangat besar saat itu, Aku akhirnya dapat
menghindari itu semua dan kembali dengan keadaan hidup.
—Entah masih tersisa berapa keberuntungan yang aku miliki saat
ini. Aku berharap hari ini tidak ada kejadian buruk yang menimpaku.
Tanpa ragu aku terus memasuki hutan lebih dalam untuk
mencari buruan seperti monster kecil atau serigala hitam, namun sejauh ini aku
belum menemukan satupun dari mereka.
Semakin dalam memasuki hutan Aku mengamati kondisi sekitarku
masih sangat lembab dan udaranya juga terasa dingin meskipun kabutnya telah
hilang. Daun-daun yang masih basah
karena kabut pagi meneteskan embun yang berjatuhan seperti tetesan hujan.
Saat itu aku mencium sebuah bau yang harum. Lebih tepatnya
kurasa bau itu memiliki aroma manis seperti madu.
“Bau ini...”
—Manis?
Tapi, bukankah seharusnya madu tidak mengeluarkan aroma
sekuat ini. Apalagi setelah Aku menyadari bahwa disekitarku tidak ada madu
setetespun. Bahkan saat aku melihat ke atas, tidak ada satupun sarang lebah
yang menggantung di cabang pohon.
Jadi aku menyimpulkan
bahwa bau ini mungkin berasal dari masakan.
Seseorang pasti sedang memasak sesuatu yang manis. Mengingat bahwa saat ini masih sangat pagi, mungkin mereka
adalah sekelompok orang yang telah bermalam di hutan. Pasti kelompok itu
bukanlah kelompok biasa. Mungkin mereka adalah kelompok barisan depan.
Jika mereka hanyalah kelompok biasa, mereka tidak akan
berkemah di pagi hari seperti ini. Bertahan satu malam di hutan ini pun juga
sangat berbahaya, dibutuhkan kerjasama tim yang baik dan skill yang cukup kuat
untuk melindungi teman-temannya.
Aku lalu mencoba mencari arah angin di dalam hutan itu
dengan daun-daun kering di sekitarku.
Karena hari ini masih pagi, udaranya sangat lemah sehingga
sulit untuk menentukan arah angin. Oleh karena itu mengambil daun kering yang
berserakan di bawah kakiku lalu menghancurkannya dengan tangan dan sedikit demi
sedikit menjatuhkannya ke bawah. Gerakan jatuh dari daun kering itu akan
sedikit miring dan aku pun dapat mengetahui arah hembusan anginnya.
“Barat ya”
― Mereka saat ini pasti berada di barat. Aku akan
memastikannya terlebih dahulu.
Aku pergi ke arah barat, berjalan pelan mencoba sebisa
mungkin untuk tidak menimbulkan suara yang berisik. Saat aku melihat kepulan
asap putih di depan, aku yakin bahwa kelompok kemah itu sudah dekat.
Mengendap-endap dibalik semak Aku mencoba melihat apa yang
sedang mereka lakukan sekarang.
Sial, apa yang aku lihat ternyata sangat berbeda dari
dugaanku. Tempat itu bukanlah perkemahan seperti yang kubayangkan. Tidak ada
tenda di sana, melainkan terdapat beberapa gubuk kecil dari kayu yang ditutupi
ranting pohon dan daun kering.
Bau madu yang tercium berasal dari dua Demi-human yang
sedang membakar sisa sarang madu yang sudah mereka makan di api unggun.
Aku tidak percaya
dengan apa yang telah kutemukan.
―itu adalah perkampungan goblin.
Aku pernah mendengar kabar dari anggota guild yang lain
bahwa Goblin sebenarnya hidup berkelompok dan memiliki perkampungan di tengah
hutan yang lebat. Sangat sulit untuk mencari perkampungan mereka karena berada
jauh di dalam hutan. Tapi aku saat ini yakin bahwa informasi itu telah terbukti
kebenarannya.
Setelah aku amati, ada tujuh goblin yang terlihat. Dua
goblin yang berbicara tidak jelas di samping api unggun, satu lagi baru saja
keluar gubuk dan bergabung dengan dua goblin tadi, satu goblin yang sedang
menyusun ranting dan kayu-kayu untuk memperbaiki gubuk mereka, tiga goblin lagi
membawa panah dan pedang lalu pergi ke arah hutan.
—Memangnya sudah sejauh mana aku masuk ke dalam hutan.
Jika aku menjual informasi ini mungkin aku akan mendapatkan uang
yang banyak. Tapi jika aku melakukan hal itu pasti mereka akan mengirim satu
atau lebih kelompok party ke tempat ini untuk menghancurkan kampung dan membantai
para Goblin itu. Berpikir untuk menyerang mereka sendirian pun juga sangat
mustahil kulakukan.
Memang, menghancurkan perkampungan ini pasti akan
mendapatkan barang rampasan banyak yang dapat dijual di pedagang antik, namun
membiarkan mereka menghancurkan perkampungan dan membunuh semua goblin ini
sekaligus. Membayangkannya saja membuat perutku terasa sakit.
Membunuh Goblin bukanlah kesukaanku.
Dibandingkan dengan monster yang lainnya, Goblin adalah yang
terlemah sekaligus mereka juga merupakan makhluk yang paling kubenci. Itu
karena Goblin bukanlah monster sesungguhnya, mereka layaknya suku primitif di
dunia Grimgar.
Mereka berburu, bekerja sama, hidup berkelompok, juga
memiliki perkampungan layaknya manusia, itulah sebabnya mereka disebut sebagai Demi-human,
bukan monster.
Pertama kali aku membunuh Goblin adalah beberapa bulan yang
lalu. Itu sudah lama saat aku masih bersama dengan anggota partyku dulu. Hal
itu juga merupakan terakhir kalinya aku membunuh Goblin.
Aku masih ingat dengan jelas sensasi yang kurasakan ketika
membunuh Goblin itu.
Sayangnya sensasi itu bukanlah sensasi terbaik. Karena
itu, aku lebih memilih pergi ke hutan Selatan yang lebih berbahaya daripada
pergi ke hutan Barat demi menghindari pertarungan dengan Goblin.
Sudah hampir tiga puluh menit aku mengintai di balik
semak-semak. Tampaknya jumlah goblin yang berada di sana tidak bertambah. Mereka
juga masih tetap berbicara tidak jelas di samping api unggun. Sedangkan aku di
sini sudah semakin bosan mencari kesempatan untuk dapat mencuri sesuatu dari
mereka.
Beberapa saat kemudian, saat aku masih mengintai dari balik
semak-semak, Aku melihat tiga goblin yang pergi menuju hutan tadi telah
kembali.
Dua dari tiga goblin itu seperti sedang membawa sesuatu yang
berat menggantung di sebuah tongkat kayu. Setelah kuperhatikan, benda yang
tergantung itu memiliki bulu berwarna hitam legam. Tidak salah lagi itu adalah
serigala hitam.
―tidak
mungkin.
Para Goblin itu mampu membunuh satu serigala hitam yang
terkenal dengan kebuasannya. Bahkan ukuran tubuh Goblin dan Serigala itu tidak
jauh berbeda. Namun mereka mampu membunuhnya.
Kekuatan Goblin di sini tidak boleh diremehkan. Mungkin mereka
jauh lebih kuat dibandingkan dengan Goblin yang berada di hutan bagian barat. Tiga goblin saja mampu membunuh satu serigala hitam dengan
mudah, apalagi dengan tujuh Goblin, Aku mungkin tidak akan memiliki kesempatan untuk
menang.
Aku sempat berencana untuk membatalkan niatku dan segera
pergi dari tempat itu. Namun saat aku melihat para goblin itu sibuk menguliti
serigala hitam itu, aku mendapatkan sebuah rencana baru.
Aku akan menyusup ke dalam salah satu gubuk untuk mencuri
barang berharga milik mereka yang dapat dijual di pasar. Setelah itu Aku akan
mengalihkan perhatian tujuh goblin itu dengan membakar gubuk lalu menggunakan
kesempatan itu unruk mengambil kulit serigala hitam yang telah selesai
dikuliti.
Seperti itulah rencanaku.
―Aku menyebut rencana ini, aksi pencurian yang beresiko tinggi.
“he.he.he”
Kalau aku tahu akan jadi seperti ini, kemarin Aku pasti
sudah mencari partner dari guild pencuri untuk diajak party.
“huh”
Tidak masalah. Aku yakin rencana ini akan berhasil.
Dari celah dedaunan pohon, Aku melihat matahari sudah
semakin tinggi. Tidak banyak waktu lagi untuk tetap berada di sini. Jika tidak
segera bertindak sekarang, Aku tidak akan bisa sampai di Kota Ortana tepat
waktu. Saat ini aku dapat menebak posisiku sudah terlalu jauh di dalam hutan
jadi mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk keluar dari hutan ini.
Saat perjalanan memasuki hutan Aku tidak menjumpai satupun
monster dan aku tidak sadar cepat sampai di sini. Oleh karena itu Aku pikir
perjalanan kembali mungkin tidak akan semudah itu lagi.
Setelah meyakinkan bahwa tidak ada kesalahan dengan
rencanaku. Aku bergegas pergi ke belakang salah satu dari tiga gubuk dan
mengendap-endap dibelakangnya.
Yang menjadi masalah saat ini adalah jarak antara pintu gubuk
dengan para goblin yang sedang sibuk menguliti badan serigala itu terlalu dekat
sehingga sangat sulit untuk masuk ke dalam gubuk sekarang.
Setiap gubuk terbuat dari tembok kayu dan atapnya terbuat
dari ranting pohon yang dilapisi oleh daun kering. Berpikir untuk melubanginya
tanpa suara adalah mustahil.
“Apakah ada sesuatu yang lain?”
Aku mulai kehilangan harapan.
Meskipun Aku kurang ahli dalam hal mencuri dibandingkan
dengan mereka dari guild pencuri, Aku memiliki bakat dalam hal menyusun
strategi. Ya, kalau dalam hal itu aku selalu percaya diri.
Tapi ini adalah pertama kalinya aku bekerja sendiri.
Biasanya aku selalu bekerja dengan kelompok, sehingga Aku
hanya perlu mengamati situasi dari belakang sambil menyusun strategi, sedangkan
anggota yang lain melakukan penyerbuan.
Berbeda dengan saat ini, Aku harus melakukan keduanya
sendiri.
Saat Aku berusaha menenangkan pikiranku dengan menyandarkan
tubuhku pada dinding gubuk itu tiba-tiba Aku terjatuh ke belakang. Kukira di
belakangku adalah dinding kayu tapi tubuhku terasa kehilangan keseimbangan dan
terjatuh dalam kegelapan.
Tidak terduga sebelumnya, aku sudah berada di dalam gubuk
kecil itu. Ternyata masih ada keberuntungan yang tersisa pada diriku
hari ini. Salah satu kayu yang menjadi tembok gubuk itu sudah lapuk sehingga
tidak mampu menahan tubuhku dan hancur.
Di dalam gubuk itu lembab dan remang-remang. Aku menemukan
sebuah kotak penyimpanan barang yang besar. Didalamnya ada peralatan senjata
tajam dan juga kantung berisi koin perak yang cukup banyak.
Setelah menyimpan kantung berisi koin perak itu, Aku segera keluar
dari gubuk itu melalui lubang tempat masukku tadi. Segera setelah itu, aku
memanjat pohon terdekat lalu memposisikan duduk diantara dua cabang pohon yang
cukup kuat untuk menahan tubuhku.
Akumengambil busur dan anak panah dari punggungku.
Melilitkan kain perban yang sudah kubawa pada ujung anak panah lalu membakarnya
dengan api yang kubuat.
Untung saja aku adalah tipe orang yang selalu mempersiapkan
segala sesuatu untuk menghadapi kemungkinan tak terduga seperti saat ini
sehingga lebih mudah dalam menjalankan rencana yang telah kubuat.
Sambil membidikkan anak panah yang terbakar itu ke-arah
salah satu gubuk yang berada di tengah, aku mengucapkan sebuah kalimat sihir
pendek sebelum melepaskannya.
“Triarrow”
Anak panah itu melesat dengan cepat tanpa memadamkan api
yang ada di ujungnya. Sebuah garis tipis berwarna putih terliahat dari lintasan
yang ditinggalkan anak panah itu. Sesaat sebelu mencapai target, anak panah itu
tiba-tiba terbelah menjadi tiga bagian yang sama. Dua bagian yang lain mengarah
ke arah yang berlawanan.
Ketiga anak panah itu akhirnya menancap pada tiga gubuk
sekaligus dalam waktu yang bersamaan lalu membakarnya. Itu adalah skill yang telah kupelajari beberapa
waktu yag lalu bernama <<Tripple Arrow>>. Sebuah skill memanah yang
membuat anak panah menjadi ganda saat ditembakkan. Tripple Arrow sebenarnya
adalah salah satu dari sedikit skill pemburu yang memakai sihir dalam
penggunaannya.
Biasanya kami selalu mengandalkan keterampilan dalam
menggunakan banyak senjata seperti panah, pisau, maupun pedang. Namun dalam hal
tertentu, skill yang memakai sihir juga dapat membantu seperti yang kulakukan.
Saat api sudah mulai membakar atap gubuk itu, aku segera
melompat turun dari pohon lalu bersembunyi di antara semak-semak. Aku menunggu
reaksi dari para goblin itu dan bergerak jika ada kesempatan untuk mengambil
kulit serigala.
Salah satu dari goblin itu mulai menyadari gubuk mereka
terbakar. Goblin itu kemudian berteriak dengan nada yang sangat kasar
“Arrrrrkk”
Akibat dari teriakan
salah satu goblin itu. Goblin yang lain pun ikut menyadari api yang telah
membakar atap gubuk mereka lalu mereka pun jga ikut berteriak.
“Grrraa..”
“Uruooghh”
Sepertinya mereka
sedang berbicara satu sama lain dengan bahasa mereka sendiri. Sayangnya Aku
tidak mengerti sama sekali apa yang sedang mereka bicarakan. Bagiku mereka
hanya seperti orang gila yang teriak-teriak.
Dua dari mereka berlari menuju hutan sedangkan sisanya masih
berjaga sambil berteriak di dekat gubuk.
-Apa yang sedang mereka lakukan?
Jika mereka tidak bergerak dari tempat itu sekarang aku
tidakakan bisa mengambil kulit itu.
“Sial, bergeraklah!” gertakku pelan.
Goblin yang paling kecil akhirnya bergerak lebih dulu
berjalan menjauh dari api. Hal itu mengakibatkan area yang berada lurus di
depanku menjadi kosong.
“Kesempatan”
Dengan cepat aku keluar dari semak-semak dan menghentakkan
kaki kananku untuk memberikan dorongan kepada tubuhku untuk mulai berlari
dengan kecepatan tinggi. Ini merupakan natural
skill yang dimilik oleh guild pemburu. Sebagai pemburu, kami dikenal karena
kecepatan dan kelincahan gerakan. Itu merupakan hal penting yang harus dimiliki
oleh pemburu saat mengejar target maupun menghindari serangan mematikan dari
target.
bersambung...
Mohon maaf. Kelanjutan ceritanya masih dalam pengerjaan.. cerita selanjutnya masih bagian dari chapter 1 ini, jadi nantinya halaman ini akan diupdate hingga chapter 1 selesai.
0 comments:
Post a Comment